Pendahuluan
Perpustakaan di Indonesia saat ini sepertinya mulai tergugah untuk menyikapi perkembangan teknologi informasi yang tak terbendung. Globalisasi informasi saat ini menjadi semakin deras seiring pesatnya perkembangan teknologi informasi. Perpustakaan terutama di perguruan tinggi mulai ‘tersadar’ untuk mencoba memberikan nuansa lain dengan memberikan layanan yang berbasis teknologi informasi. Banyak perpustakaan yang mencoba ‘mengangkat’ tema ‘digital library’ atau perpustakaan digital sebagai bagian dari sistem terbaru layanan pengguna dalam mengantisipasi globalisasi informasi. Walaupun ada kekawatiran dalam diri penulis, apakah mereka sudah benar-benar memahami konsep ‘digital library’ secara pas dan ‘benar’ atau belum. Jangan-jangan sebetulnya apa yang dibangun hanya ‘sekedar’ digital collection belum sampai pada sebuah sistem ‘digital library’ secara utuh.
Konsep ‘digital library’ sendiri sebetulnya bukan merupakan konsep baru, namun akhir-akhir ini memang kembali menjadi pilihan bagi para pelaku di dunia perpustakaan untuk ‘ditekuni’ dan ditampilkan kepada pengguna. Konsep ‘digital library(ies)’ ini dimulai pada tahun 1945 dengan adanya Vannenar Bush’s Memex Machine yang memberikan stimulasi awal bagi aplikasi komputer untuk temu kembali informasi (information retrieval). Konsep itu berkembang ke dalam area yang lebih luas lagi, mulai dari database bibliografis yang besar, temu kembali online, dan sistem akses publik. Apalagi dengan adanya internet yang memungkinkan komputer terhubung ke dalam sebuah jaringan informasi yang luas, konsep digital menjadi trend kembali dan pembuatan ‘libraries of information digital’ yang dapat diakses oleh siapapun dari manapun di dunia menjadi penting. Perkembangan konsep digital tersebut ‘menciptakan’ berbagai istilah yang sering digunakan seperti ‘virtual library’, ‘electronic library’, ‘library without walls’, ‘bionic library’ , hingga saat ini yang paling sering disebutkan adalah ‘digital library’.
Sejalan dengan semangat perpustakaan di berbagai perguruan tinggi yang ingin mencoba mengedepankan ‘digital library’ dalam sistem pelayanannya, maka perlu kiranya pemahaman yang lebih dalam mengenai apa sebenarnya definisi ‘digital library’, apa tujuan ‘digital library’, bagaimana itu diterapkan di perpustakaan, apa saja tantangan yang dihadapi, dan apa saja yang harus dilakukan oleh perpustakaan. Tulisan ini mencoba mengupas beberapa hal penting tersebut di atas.
Definisi ‘Digital Library’
Ketika orang membicarakan mengenai ‘digital library’ sebetulnya ada bermacam-macam pengertian atau definisi yang ada di benak masing-masing orang. Bahkan kecenderungannya mereka akan mendefinisikan sesuai dengan konsep dasar pemikiran, latar belakang atau bidang keilmuan mereka masing-masing. Hal ini tentu membingungkan kita untuk memahami apa sebenarnya ‘digital library’ itu. Menurut Cleveland (1998) setidaknya ada 3 faktor yang menyebabkan kebingungan dalam memahami istilah ‘digital library ‘ ini:
1. Adanya perbedaan penggunaan istilah oleh komunitas perpustakaan dalam memahami konsep ini seperti electronic library, virtual library, library without walls—dan tidak pernah ada kejelasan perbedaan makna dari istilah-istilah tersebut. Istilah ‘Digital Library’ sendiri secara sederhana merupakan paling baru dan secara luas digunakan secara ekslusif pada konferensi, online dan dalam literatur-literatur.
2. ‘Digital libraries’ merupakan fokus perhatian dari banyak bidang area riset yang berbeda, dan pemahaman ‘digital library’ tergantung pada masing-masing komunitas riset yang menggambarkannya. Contohnya: (a) dari segi pandang temu kembali informasi, itu merupakan sebuah database yang besar, (b) bagi orang yang bekerja di hypertext technology, itu merupakan satu aplikasi khusus metode hypertext, (c) dan bagi ilmu perpustakaan, itu merupakan langkah lain dalam meneruskan otomasi perpustakaan yang dimulai lebih dari 25 tahun yang lalu.
3. Hal ketiga yang meningkatkan kebingungan adalah adanya fakta bahwa banyak hal di internet yang oleh orang disebut ‘digital libraries’ dimana –dari sudut pandang pustakawan—bukan. Contohnya: (a) bagi ilmuwan bidang komputer dan pengembang perangkat lunak, kumpulan algoritma komputer dan program perangkat lunak adalah ‘digital libraries’, (b) bagi perusahaan besar, ‘digital library’ adalah sistem manajemen dokumen yang mengontrol dokumen bisnis mereka dalam format elektronik.
Bahkan satu contoh yang cukup spektakuler adalah apa yang banyak orang anggap ‘digital library’ adalah World Wide Web. Web mengumpulkan ribuan dokumen. Banyak yang akan menyebut kumpulan ini sebuah ‘digital library’ karena mereka dapat menemukan informasi, seperti yang dapat mereka lakukan untuk melakukan transaksi bank dalam sebuah ‘digital bank’ atau membeli CD/DVD dalam sebuah ‘digital record store’. Apakah web belum dapat disebut sebagai sebuah ‘digital library?’ Clifford Lynch (1997) dalam Cleveland (1998) menyatakan:
“One sometimes hears the Internet characterized as the world’s library for the digital age. This description does not stand up under even casual examination. The Internet—and particularly its collection of multimedia resources known as the World Wide Web—was not designed to support organized publication and retrievalof information as libraries are. It has evolved into what might be thought of as a chaotic repository for the collective output of the world’s digital ‘printing presses’. … In short, the Net is not a digital library.”
Dari pernyataan Lynch tersebut dapat dilihat bahwa ‘digital library’ bukan sekedar Internet atau akses ke dalam sumber Web.
Cleveland (1998) dalam Occasional Paper IFLA nomor 8, bulan Maret 1998 menyatakan bahwa untuk memahami ‘digital library’ dari sudut pustakawan maka sebagai titik awalnya kita harus mengasumsikan bahwa ‘digital libraries’ adalah perpustakaan dengan maksud, fungsi, dan tujuan yang sama seperti perpustakaan tradisional—yakni manajemen dan pengembangan koleksi, analisa subjek, pembuatan indeks, ketersedian akses, sisi referensinya, dan preservasinya.
Berangkat dari pemikiran tersebut ada beberapa karakteristik yang dapat dilihat berdasarkan berbagai diskusi yang telah dilakukan seputar ‘digital library’ ini, seperti yang sudah dirangkum oleh Cleveland (1998) yakni:
• Digital libraries are the digital face of traditional libraries that include both digital collections and traditional, fixed media collections. So they encompass both electronic and paper materials
• Digital libraries will also include digital materials that exist outside the physical and administrative bounds of any one digital library
• Digital libraries ideally provide a coherent view of all of the information contained within a library, no matter its form or format
• Digital libraries will serve particular communities or constituencies, as traditional libraries do now, though those communities may be widely dispersed throughout the network
• Digital libraries will require both the skills of librarians and well as those computer scientists to be viable.
Dari hal tersebut dapat dilihat bahwa ‘digital library’ bukan sesuatu yang berdiri sendiri, tapi merupakan sebuah sistem. Definisi yang cukup menggambarkan berbagai karakteristik tersebut dapat dilihat dari apa yang dihasilkan dari Dlib Working Group on Digital Library Metrics (WG) di Stanford University, 7-8 Januari 1998, yakni:
“The Digital Library is the collection of services and the collection of information objects that support users in dealing with information objects and the organization and presentation of those objects available directly or indirectly via electronic/digital means.”
Definisi tersebut memberikan pemahaman kepada kita bahwa ‘digital library’ lebih dari sekedar koleksi bahan pustaka dalam tempat penyimpanan, tetapi juga memberikan bermacam layanan pada semua pengguna (baik manusia dan mesin, pembuat, manajer, dan pengguna informasi). Tipe objek informasinyapun menjadi bermacam dari ‘dokumen’ tradisional sampai kepada objek ‘hidup’ atau hasil permintaan yang dinamis. Hal lain adalah ‘digital library’ memberikan kepada pengguna kepuasan akan kebutuhan mereka dan hal-hal yang dibutuhkan untuk manajemen, akses, penyimpanan, dan manipulasi bermacam informasi tersimpan dalam koleksi bahan pustaka yang merepresentasikan kepemilikan dari perpustakaan. Bahkan pengertian pengguna disinipun bermacam-macam, dapat pengguna akhir, operator perpustakaan, dan juga ‘penghasil’ informasi. Selain itu penataan dan cara penyajian objek informasi harus menjadi bagian penting dengan memperhatikan unsur estetika. Objek informasi ini dapat juga merupakan objek digital atau bisa juga media lain (misal kertas) tetapi disajikan di perpustakaan melalui perangkat digital (misal metadata). Hal itu mungkin tersedia secara langsung dalam jaringan atau tidak langsung. Sekalipun objek informasi bukan berupa data elektronis atau mungkin tidak secara langsung tersedia dalam jaringan, objek harus dapat disajikan secara elektronis dalam beberapa cara melalui misal metadata atau katalog. Sehingga pada prinsipnya ‘digital library’ merupakan satu sistem layanan perpustakaan terintegrasi berbasis digital, walaupun cakupan informasi tidak mesti berbentuk digital.
Apa pentingnya ‘digital library’?
Pertanyaan selanjutnya mengenai kenapa perpustakaan ‘repot’ dengan menerapkan sebuah sistem ‘digital library’ , apa sih arti pentingnya bagi perpustakaan? Ada beberapa alasan yang dapat menjawab pertanyaan itu, yakni:
1. Untuk meningkatan layanan perpustakaan yang berbasis kebutuhan pengguna, perkembangan teknologi informasi, dan perkembangan ilmu pengetahuan.
2. Untuk memperluas jaringan informasi yang pada gilirannya akan mempermudah akses ke dalam sumber-sumber informasi apapun bentuk dan jenisnya.
3. Karena kebutuhan akan pelestarian informasi (baik informasi elektronik maupun sumber informasi tercetak).
4. Untuk meningkatkan pengembangan secara sistematis: perangkat untuk mengumpulkan, menyimpan dan mengatur informasi dan pengetahuan dalam bentuk digital.
5. Menciptakan sistem terintegrasi yang lebih luas, terjangkau, dan mudah diakses oleh seluruh pengguna dimanapun dan kapanpun berada.
Bagaimana ‘digital library’ diterapkan?
Beberapa usaha yang mungkin dapat ditempuh dalam rangka menuju sistem ‘digital library’ adalah sebagai berikut:
a. Pengembangan Sistem Otomasi Perpustakaan
Mengapa sistem otomasi perpustakaan dapat menjadi bagian dari ‘digital library’? Karena melalui sistem otomasi ini sedapat mungkin perpustakaan dapat menampilkan sebuah sistem layanan yang berbasis elektronis yang memungkinkan berbagai macam kemudahan dalam pengelolaan objek informasi. Otomasi perpustakaan ini akan berguna bagi seluruh pengguna perpustakaan seperti pustakawan, manajemen, dan juga pengguna. Berbagai transaksi dan laporan akan ditampilkan secara elektronis/digital melalui sistem otomasi ini. Rekaman transaksi dan laporan kegiatan layanan perpustakaan yang terekam secara elektronis merupakan satu objek informasi penting dapat disediakan oleh perpustakaan. Untuk itu pengembangan sistem otomasi perpustakaan harus dapat menampilkan berbagai macam informasi tidak hanya metadata seperti katalog atau indeks, tetapi juga harus dapat menampilkan berbagai rekaman kegiatan perpustakaan diantaranya transaksi sirkulasi, rekaman keanggotaan, data statistik, rekaman koleksi dan lain sebagainya.
b. Pengembangan Sistem Informasi Online
Hal lain yang dapat dilakukan dalam rangka menerapkan konsep ‘digital library’ adalah adanya sebuah sistem informasi online. Hal ini dapat diwujudkan dengan menciptakan sebuah sistem berbasis jaringan baik untuk keperluan intranet dan/atau Local Area Network (LAN) maupun internet dan/atau Wide Area Network (WAN). Saat ini yang paling mudah dan banyak dilakukan adalah menggunakan fasilitas World Wide Web (Web). Melalui Web perpustakaan dapat membangun sebuah sistem informasi online yang menyediakan objek informasi seperti katalog, indeks, arsip, hasil posting newsgroup, koleksi email, sumber komersial, sumber hiburan, artikel personal, hingga layanan perpustakaan (daftar pertanyaan referensi, analisis statistik, pustakawan online, asisten online, dan sebagainya). Selain itu melalui sistem informasi online, perpustakaan dapat menyediakan berbagai koleksi digital yang dimilikinya baik yang dibeli, dilanggan, maupun yang didapat secara gratis.
c. Pengembangan koleksi digital
Tahap selanjutnya yang perlu dilakukan dalam menerapkan ‘digital library’ adalah membangun koleksi digital. Membangun koleksi digital menurut Cleveland (1998) dapat dilakukan dengan tiga metode penting yakni; digitasi, pengadaan karya digital asli, dan akses ke dalam sumber-sumber eksternal. Digitasi merupakan proses konversi koleksi berbentuk cetak, analog atau media lain --- seperti buku, artikel jurnal, foto, lukisan, bentuk mikro--- ke dalam bentuk elektronik atau digital melalui proses scanning, sampling, atau re-keying. Pengadaan karya digital asli disini maksudnya adalah mengadakan baik melalui metode membeli atau berlangganan karya digital asli dari penerbit atau peneliti dalam bentuk misalnya jurnal elektronik (e-journal), buku elektronik (e-books), dan database online (seperti Ebsco, Proquest, ScienceDirect, dll). Sedangkan akses ke dalam sumber eksternal disini maksudnya adalah perpustakaan harus mempunyai semacam jaringan kepada sumber lain yang tidak tersedia secara lokal yang disediakan melalui website, koleksi perpustakaan lain, atau server milik penerbit-penerbit.
Tantangan apa yang dihadapi?
Proses penerapan ‘digital library’ tentunya tidak dapat begitu saja dapat diwujudkan. Ada banyak hal yang perlu dihadapi dan menjadi tantangan bagi perpustakaan dalam mewujudkan ‘digital library’ secara utuh. Beberapa hal yang cukup serius dihadapi dalam pengembangan ‘digital library’ adalah sebagai berikut:
1. Infrastruktur/Arsitektur Teknis
Hal awal yang dibutuhkan oleh perpustakaan ketika akan menerapkan sistem ‘digital library’ adalah masalah peningkatan dan pembaharuan infrastruktur teknis untuk mengakomodasikan berbagai sumber digital. Infrastruktur itu termasuk didalamnya komponen seperti:
• Jaringan lokal berkecepatan tinggi dan koneksi internet yang memadai
• Database yang mendukung bermacam format digital
• Piranti pencari atau alat telusur untuk indeks dan akses ke sumber informasi
• Perangkat keras seperti berbagai macam komputer server (Web Server, FTP Server, Database Server, dan sebagainya) dan komputer personal untuk pengguna
• Perangkat lunak termasuk di dalamnya sistem manajemen dokumen elektronik yang akan membantu keseluruhan proses manajemen sumber-sumber digital misalnya web portal system, program ‘electronic database system’ dan lain sebagainya.
2. Pembangunan Koleksi Digital
Pengembangan dan pembangunan koleksi digital merupakan sebuah tantangan tersendiri yang harus dihadapi oleh perpustakaan dan pustakawan. Perpustakaan harus dapat merancang sebuah kebijakan bagi pembangunan koleksi digital, apakah akan melakukan proses digitasi, apakah akan melanggan/membeli informasi digital, atau apakah hanya akan mengakses ke sumber-sumber eksternal. Perpustakaan juga perlu mengadakan analisis kebutuhan, analisis koleksi yang dimiliki dan analisis sumber daya yang dimiliki (termasuk di dalamnya sumber daya manusia). Hal itu penting untuk mengukur sejauh mana pengembangan koleksi digital dapat dilakukan dan diterapkan. Karena disisi lain pembangunan koleksi digital ini juga merupakan proses kontrol lokal terhadap koleksi yang dimiliki dan juga untuk menjawab kebutuhan akses jangka panjang dan preservasi. Pertimbangan lain adalah dari sisi koleksi itu sendiri seperti kekuatannya, keunikannya, skala prioritas kebutuhan komunitas pengguna, dan juga manajemen porsi atau prosentase koleksi.
3. Masalah Hak Cipta / Manajemen Hak Milik
Salah satu tantangan dan juga kendala yang sering “menghantui’ dalam proses pengembangan sistem ‘digital library’ adalah masalah hak cipta. Konsep hak cipta yang ada pada karya berbasis cetak kadang terpangkas begitu saja dalam lingkungan digital karena ‘hilang’nya kontrol penggandaan. Objek digital kurang tetap, mudah digandakan, dan dapat diakses secara remote oleh banyak pengguna secara bersamaan. Hal ini tentunya harus diperhatikan dan perlu adanya mekanisme yang memberikan kesempatan kepada perpustakaan untuk menampilkan informasi tanpa merusak hak cipta, dan untuk itu diperlukan semacam manajemen hak milik. Cleveland (1998) menyampaikan beberapa fungsi yang mungkin harus ada dalam manajemen hak milik seperti; (a) jejak penggunaan, (b) identifikasi dan pemberian hak pengguna, (c) memberikan status hak cipta dari setiap objek digital, dan pembatasan penggunaan atau pencantuman biaya di dalamnya, (d) menangani transaksi dengan pengguna dengan mengijinkan hanya beberapa salinan dapat diakses, atau dengan mengenakan tarif untuk tiap salinan, atau langsung meminta kepada penerbit. Melalui beberapa hal tersebut diharapkan masalah hak cipta ini paling tidak dapat sedikit terkurangi resikonya.
4. Promosi/pemasaran dan aksesibilitas
Masalah lain yang penting untuk disampaikan disini sebagai sebuah tantangan yang harus dihadapi oleh perpustakaan dalam rangka penerapan sistem ‘digital library’ adalah masalah penggunaan dan akses ke dalam ‘digital library’ yang sudah sedemikian rupa disediakan. Banyak kasus dijumpai bahwa perpustakaan terlena dengan apa yang sudah dapat disediakan tetapi lupa akan bagaimana pengguna mengetahui keberadaan fasilitas yang sudah disediakan tersebut. Disini masalah promosi atau pemasaran menjadi penting. Karena apabila ‘digital library’ yang sudah dibangun dengan susah payah menghabiskan banyak tenaga, waktu dan biaya tidak diketahui oleh pengguna maka efeknya aksesibilitas terhadap ‘digital library’ ini akan menjadi sangat kurang dan tidak signifikan dengan biaya yang dikeluarkan. Artinya nilai ekonomisnya akan hilang. Perpustakaan harus menyediakan informasi yang cukup kepada pengguna dengan merancang sistem promosi atau pemasaran yang tepat. Hal ini bisa dilakukan menggunakan berbagai media informasi yang tersedia seperti brosur, leaflet, website, banner, spanduk, buku panduan atau bahkan melalui sebuah pelatihan atau program rutin orientasi bagi pengguna. Semakin gencar dan mudah pengguna mendapatkan informasi mengenai ‘digital library’ ini maka tingkat aksesibilitasnya akan semakin tinggi. Untuk mengukur tingkat aksesibilitas sebuah ‘digital library’ maka perpustakaan perlu juga memasang sistem pelacakan (tracing) dan tracking yang dapat memberikan data tingkat aksesibilitas ‘digital library’ yang ada.
Penutup
Pada prinsipnya konsep ‘digital library’ akan terus berkembang dari waktu ke waktu. Perpustakaan di Indonesia, terutama perpustakaan perguruan tinggi yang sudah mempunyai ‘kesadaran’ untuk mulai membangun sebuah ‘digital library’ hendaknya terus meningkatkan pengembangannya hingga menjadi sebuah sistem ‘digital library’ yang utuh dan lengkap. Untuk mewujudkannya kiranya masih perlu adanya kerjasama yang baik antara pustakawan atau pengelola perpustakaan sebagai penyaji informasi dengan para ahli bidang komputer atau teknologi informasi yang mampu mendukung proses penerapan ‘digital library’ dalam perpustakaan melalui dukungan sistem informasi atau program-program semacamnya.
Satu hal lagi bahwa ‘digital library’ merupakan sebuah proses jangka panjang yang perlu direncanakan secara matang, terintegrasi dan sistematis sehingga tidak melenceng dari manfaat, fungsi, dan tujuan pembangunan ‘digital library’ tersebut. Semoga ulasan singkat dalam tulisan ini dapat meningkatkan pemahaman kita terhadap ‘digital library’ dilihat dari sisi perpustakaan, sehingga perpustakaan di Indonesia dapat mengejar ketertinggalan dalam penerapan ‘digital library’ ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar